Konflik Manusia – Satwa Liar, Mengapa Terjadi?

Konservasi Alam Edisi III Tahun 2009 (Penulis: Siti Chadidjah Kaniawati)

Beberapa tahun terakhir sering terjadi konflik antara manusia dan satwa liar. Catatan berikut ini mendaftar sederetan pertikaian yang pernah terjadi di berbagai wilayah di Sumatera.

Di Nanggore Aceh Darusalam konflik manusia-harimau dari 1998 sampai Maret 2009 tercatat 47 kali; antara 2008 hingga Maret 2009, Jambi didera 16 konflik, dan di Bengkulu, pada 2008 tercatat 10 konflik. Sementara itu, konflik manusia-gajah pada 2007 terjadi 31 kali dan pada 2008 terjadi 26 kali. Konflik itu terjadi di empat provinsi: NAD, Sumatera Utara, Riau dan Jambi.

Kubu satwa liar yang sering bertikai dengan manusia melibatkan gajah, harimau, orang utan, buaya, dan beruang. Meski konflik juga terjadi di provinsi-provinsi lain, nampaknya pertikaian gajah dan harimau di Sumatera terbilang sengit.

Konflik tak kunjung usai itu cenderung menimbulkan sikap negatif pada diri manusia, yaitu terbunuhnya satwa liar. Efek terburuk konflik bukan hanya jatuhnya korban manusia atau satwa liar, tapi juga berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwa liar, yang selanjutnya muncul efek detrimental atas upaya konservasi.

Jika dibiarkan, perlahan tapi pasti, bumi akan menambah panjang daftar satwa yang punah.

Pertikaian yang terus terjadi mendorong pemerintah dan para pihak terkait untuk duduk bersama dan merumuskan ketentuan dalam penanganan dan pencegahan konflik yang optimal.

Salah satu hasil dari “kebersamaan” itu adalah terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Satwa Liar dan Manusia.

Peraturan ini memuat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penanggulangan konflik, kelembagaan yang perlu dibentuk untuk optimalisasi upaya yang dilakukan, dan prosedur penanggulangan konflik. Selain itu, juga memuat upaya pencegahan konflik dan tindakan pascakonflik.

Bila jatuh korban, baik luka atau meninggal, misalnya, peraturan itu menyatakan adanya kompensasi bagi korban. Tentu saja, korban memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Upaya penanggulangan konflik mesti memperhatikan sejumlah hal berikut ini. Yang pertama dan utama, penyelesaian konflik harus berpandangan manusia dan satwa liar sama-sama penting. Lokasi konflik yang tersebar cukup luas, mensyaratkan penanggulangan konflik berorientasi kepada berbagai faktor yang berperan dalam sebuah konflik (site specific).

Dengan demikian, tidak ada solusi tunggal. Penanggulangan konflik memerlukan rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang komprehensif. Penanggulangan konflik yang komprehensif harus berdasarkan penilaian yang menyeluruh dari keseluruhan daerah jelajah satwa liar (home range based mitigation).

Dan, terakhir, penanggulangan konflik harus melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk dunia usaha dan para pengguna lahan skala luas, untuk berbagi tanggungjawab.

Dalam menanggulangi perkelahian satwa-manusia ini juga berlaku pepatah: mencegah lebih baik daripada mengobati. Lantas, bagaimana cara mencegah terjadinya konflik?

Pencegahan dimulai dengan menelisik penyebab konflik. Sejumlah hal menyulut konflik manusia-satwa.

Degradasi dan penyusutan habitat menjadi penyebab utama konflik. Penurunan kualitas dan kuantitas habitat itu memunculkan persoalan ikutan lainnya, seperti perburuan liar. Belum adanya komitmen kuat dari berbagai pihak dan penegakan hukum yang lemah membuat persoalan kkonflik satwa kian rumit.Degradasi dan penyusutan habitat terjadi karena berbagai sebab: perombakan habitat satwa menjadi fungsi lain, yang tidak mendukung kebutuhan ruang dan pakan satwa, perambahan hutan, kebakaran hutan, dan pembangunan infrastruktur tan¬pa berbasis lingkungan hidup.

Di sisi lain, masyarakat juga melakukan perburuan liar terhadap satwa-satwa mangsa, baik karena dipandang menjadi ‘hama’ (babi hutan, misalnya) maupun untuk pemenuhan kebutuhan protein. Akibatnya, sat¬wa pemangsa keluar dari daerah jelajahnya, untuk memenuhi kebutuhan pakan.

Dalam pada itu, penegakan hukum yang lemah dan kurang¬nya pemahaman masyarakat dan pengambil kebijakan di daerah terhadap konservasi satwa liar menambah panjang daftar konflik manusia-satwa liar.

Untuk menekan terjadinya konflik ataupun mengurangi kerugian pada kedua belah pihak, perlu adanya penyamaan persep¬si tentang konservasi satwa liar dan keinginan kuat untuk selalu memasukkan kebutuhan ruang dan pakan satwa liar ke dalam perencanaan pembangunan.

Pemahaman masyarakat yang mendalam tentang interaksi dan keterkaitan antar-komponen dalam suatu ekosistem serta peng¬embangan ekonomi alternatif merupakan upaya-upaya yang harus dibangun untuk menda¬patkan komitmen bersama.

Untuk mewujudkan hal tersebut, sektor-sektor terkait dalam pembangunan harus selalu bergandengan tangan agar langkah yang akan diambil selalu seirama.***

http://www.ditjenphka.go.id/?Page=Artikel&Do=Detail&ID=15P48_08_konflik manusia dengan satwa