Rimbang Baling #6: mengarungi sungai menuju bukit awan

Malam kami lewatkan dengan tenang tanpa hujan. Matahari yang terbit awalnya masih malu-malu menunjukkan diri, namun lepas jam 8 pagi dia langsung bersinar dengan penuh semangat. Hari ini kami akan pindah camp, menempuh rute sungai menuju ke hulu. Beton atau biji buah cempedak telah diolah oleh bang Amri sebagai teman sambal ikan untuk menu sarapan dan bekal makan siang kami hari ini. Biji-biji cempedak tersebut malam sebelumnya telah direbus oleh bang Amri. Salah satu kehebatan buah Cempedak dan saudara2nya seperti buah Durian dan buah Nangka, adalah biji buahnya tidak langsung dibuang, melainkan dapat diolah kembali. Jika biji buah Durian dan buah Nangka sudah pernah saya rasakan sebelumnya, biji buah Cempedak baru kali aku memakannya. Rasanya? hmm.. seperti kacang koro gede itu lho.. maknyus!

Sambal goreng ikan biji cempedak

Sambal goreng ikan biji cempedak

Saat kami sedang sarapan, rombongan bang Rawis telah siap berangkat. Mereka akan melanjutkan menandai lahan untuk dijadikan kebun karet masyarakat Desa Kunto. Iiih padahal ini kan kawasan lindung, tidak bisa seenaknya saja mencaplok lahan. Dua anggota rombongan baru datang kemarin, satu diantaranya membawa GPS Garmin Map 76CSX! wah, sama dengan GPS yang digunakan oleh tim! Kali ini rombongan yang satu ini tidak boleh disepelekan karena mereka rupanya sudah memanfaatkan teknologi di bidang navigasi.

Selesai sarapan aku pun mandi. Karena ini hanya pindah camp, pun rutenya tidak terlalu jauh, maka kami berangkatnya lebih santai. Biasanya kalau di lapangan aku jarang mandi pagi sih karena sore sebelumnya udah mandi jadi merasa ga perlu mandi dan karena merasa sia2 kalo mandi pagi karena pasti pas jalan basah juga karena keringat. Itu jawaban yang selalu kuberikan pada bang Fendy tiap kali dia tanya kenapa aku ga seperti dia yang suka mandi pagi dan sore. Dan karena ketiga orang lainnya juga biasanya ga mandi pagi, jadi yaa aku ada temannya deh, hahaha.

Mandi pagi hari ini adalah pengecualian karena kami tidak perlu berangkat terlalu pagi. Lagipula sungainya bagus, tidak terlalu kecil namun tidak terlalu besar, cukuplah untuk merendamkan seluruh bagian tubuh. Sungai yang bagus selalu sukses menggoda saya untuk mandi pagi. Jadi deh hari itu saya mandi. Sungguh menyenangkan dan nikmat dan saya merasa sangat eksklusif karena bisa mandi di sungai di dalam hutan, sembari menikmati terpaan matahari pagi yang sinarnya menembus sela-sela dedaunan. Ini adalah satu diantara kenikmatan hutan yang tidak dimiliki tempat lain, bahkan bathtub di atau jakuzi di sebuah hotel mewah tidak bisa menandingi kenikmatan dan keeksklusifannya.

bang Amri dan mas Agung mantap berjalan di sungai

bang Amri dan mas Agung mantap berjalan di sungai

Kami mulai jalan sekitar jam 11.30 siang. Selamat tinggal camp tangga jempol, petualangan menyusuri hutan Rimbang Baling kami lanjutkan. Kalau pindah camp yang pertama kami mendaki bukit terjal dan menuruni turunan tajam, hari ini kami berjalan di sungai, melawan arus menuju bagian hulu. Berjalan di sungai memberikan pengalaman yang berbeda dari jalur hutan atau perbukitan. Ini adalah ketiga kalinya aku ikut tim dengan rutenya termasuk jalur sungai. Yang pertama adalah di tahun 2009 di koridor Rimbang Baling-Bukit Tigapuluh. Yang kedua di kompleks hutan lindung Bukit Sosa tahun 2011, dan Rimbang Baling adalah yang ketiga kalinya. Kalau jalur bukit kaki kita terasa lelah karena tanjakan, di sungai kaki terasa berat karena sepatu boot kita sudah pasti terisi air. Belum lagi kaos kaki dan celana yang ikut basah, menambah berat saat kaki mengayun. Dan lebih berat lagi karena jalannya melawan arus air sungai. Kalau kita jalan menuju hilir akan lebih ringan meski tetap basah juga. Teorinya nih, hulu lebih kecil badannya dibandingkan hilir sungai. tapi yang namanya sungai utama tetap aja besar mau hulu sekalipun. Belum lagi bebatuannya juga yang semakin besar, sehingga bagi saya harus ekstra hati-hati supaya tidak jatuh. Yang membuat sulit jalan di dalam sungai adalah ketika harus melewati debris atau halangan, baik berupa kayu maupun batu-batu besar yang licin. 

Begitu dapat dataran sungai yang tinggi, kami istirahat sambil makan siang. Bagi teman-teman seperti mas Agung, bang Fendy dan bang Atta, ini adalah titik istirahat yang dinanti karena selepas makan siang mereka langsung berangkat mancing untuk bekal lauk makan malam nanti. Sekitar sejam mereka pergi memancing dan pulang dengan setumpuk ikan. Alhamdulilllah…alamat makan ikan segar lagi malam ini. 

Perjalanan kami lanjutkan dan beberapa meter kemudian berhenti. Lho..ada apa gerangan? bang Atta ternyata sudah nangkring di atas pohon dan mengunyah! Rupanya kami tiba di pohon Rambai yang tengah lebat berbuah. Buah Rambai bentuknya seperti buah Duku, namun isi buahnya sedikit berbeda. Rasanya manis2 asem. Kami memanen sekitar 3 kg untuk bekal cemilan di perjalanan dan camp. Kami melewati barisan batu2 besar dengan arus cukup deras. Aku sebenarnya sudah lelah teramat sangat.

hasil panenan buah rambai

hasil panenan buah rambai

 Rute yang kata tim tidak jauh dan ringan, bagiku tetap jauh dan terasa berat. Meski lelah, aku jarang sekali mengeluh kalau aku lelah dan minta istirahat. Kalau mengeluh, aku khawatir untuk trip berikutnya timku ogah-ogahan menampungku dalam trip mereka karena tak tahan mendengar keluhanku. Lelah ini terbayar dengan pemandangan yang ada di depanku, bagian sungai berbatu dengan suara arusnya yang menemani dan deretan pepohonan yang menaungi di atasnya. Rimbang Baling betul-betul luar biasa! Entah bagaimana menggambarkan keindahan, keanggunan, sekaligus kedamaian yang dimiliki hutan ini. Serasa melihat harimau sumatera dalam wujud yang lebih luas, beragam, dan padu. 

duduk sejenak menikmati suguhan alam Rimbang Baling

duduk sejenak menikmati suguhan alam Rimbang Baling

Di balik kelokan sungai, camp kami menanti. Posisinya yang berada di persimpangan sungai membuat camp tersebut layaknya sebuah rumah memang telah ada disitu. Saya juga teringat lirik lagu Jason Mraz, “a beautiful house in the forest..” dan sekarang saya beserta tim hidup di bait lagu tersebut.

our "beautiful house in the forest"

our “beautiful house in the forest”

Makan malam kali sungguh nikmatnya! bang Fendy, jungle master chef kami, memang sangat pandai mengolah bahan-bahan yang ada. Sup ikan buatannya segar, pedas menggigit, dan sangat pas dimakan di tengah hujan dan badan yang kedinginan setelah seharian berada di ar. Kami makan nyaris tanpa suara, masing-masing menikmati secuil surga di dalam sebuah piring. Rasa lelah, dingin, semua terobati dengan sup ikan super mantap! Alhamdulillah, sebuah awal yang menyenangkan di Bukit Awan.

Rimbang Baling #4: hari valentine, pendakian mencret, dan cempedak

14 Februari 2012.. waah Hari Valentine! ini kedua kalinya aku melewatkan hari valentine bersama tim di lapangan. Tahun lalu kami memasang kamera di Hutan Lindung Bukit Sosa, tahun ini mengambil kamera di Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Bedanya, untuk valentine kali ini mas Agung sudah sejak pagi mewanti-wanti, “meski ini tanggal 14 februari, orang-orang merayakan hari valentine, disini pokoknya tidak ada yang namanya valentinan-valentinan”. Huuu mas Agung gak asik ah. Padahal hari valentine tahun lalu di Bukit Sosa lumayan sore, teman-teman nyariin bunga berwarna merah dan camp kami pun dinamakan Camp Valentine! untuk seru-seruan, hahaha.

Camp Valentine di Bukit Sosa 2011

Camp Valentine di Bukit Sosa 2011

Hari ini kami pindah camp sekaligus mengambil camera trap di titik pertama. Teringat perkataan Mambo, “lepas camp pertama langsung welcome to the jungle, disambut pendakian dan penurunan di hutan Rimbang Baling”. Yup, hari ini kami melalui satu pendakian yang sangat dikenal oleh tim, Pendakian Mencret. Ceritanya pada tahun 2006 lalu, bang Fendy melewati pendakian ini dalam kondisi diare, sehingga harus berhenti beberapa kali untuk buang air, jadilah pendakian ini dinamakan pendakian mencret. hehe ada-ada aja ya namanya. Bagi aku yang sudah lumayan lama tidak turun ke lapangan, kembali ke lapangan, terlebih dengan perbukitan yang menanti, tentunya menjadi tantangan tersendiri. Saat diskusi di kantor Pekanbaru, mendengar cerita teman-teman yang selama beberapa bulan terakhir mengunjungi kawasan Rimbang Baling, membuatku penasaran untuk ikut, namun aku juga khawatir jika ikut akan memperlambat jalan tim. Tapi aku sangaaaat penasaran karena belum pernah ke Rimbang Baling dan juga aku ceritanya Rimbang Baling ini hutannya baguuuuuus sekali. Jika aku mengikuti ini, mungkin trip ini akan menjadi trip lapanganku yang terakhir sebelum aku meninggalkan WWF. Hahhh.. mau kemana? mau sekolah! aku sudah mendaftar sekolah beserta beasiswa lewat program Erasmus Mundus dan Chevening. Kalau diterima, maka sekolahnya mulai Agustus/September.., doakan aku lulus yaa…

Sejak awal meninggalkan camp tanpa itu, kami terus menerus mendaki. meski jalur pendakiannya tidak panjang, tapi cukup membuat aku ngos-ngosan. Cuma aku curiga, pendakian pendek ini kayaknya belum masuk pendakian mencret deh. Dan benar, selepas bang Fendy mengambil gambar pada satu pohon dekat kubangan babi hutan, bang Fendy berkata, “ini dia, selamat datang di pendakian mencret!..” lho, jadi yang tadi itu apaan? meski shock, tapi aku berusaha tetap tampil tenang. Masa baru pendakian pertama udah memble.. malu dong, harus jaga image di depan tim sendiri, haha.

Aku melihat yang lain tampak mengambil nafas beberapa menit sebelum memulai mendaki. aku pun bersiap, menguatkan mental dan berkata pada diri sendiri, “this is it, mila”. aku mengucap bismillah lalu mulai berjalan mengikuti teman-teman. Bang Fendy berada paling belakang berjalan tepat setelah aku.

Setelah beberapa lama, puff.. nafasku tersengal-sengal. betisku lelah namun jalan aku terus berjalan mengikuti teman-teman yang berada di depanku. setelah berjalan kurang lebih sejam, kami berhenti beristirahat di sebuah tempat datar. Semua tampak kelelahan. Bajuku sudah basah kuyup sepenuhnya oleh keringat. “emang sesuatu ya” ucapku. “ini baru satu bagian, abis ini mendaki lagi” ucap bang Fendy. “tapi ini lumayan” lanjutnya lagi, “cuma sejam dari camp ke sini, termasuk cepat kita”. aku tersenyum, menyadari bahwa aku tidak menghambat timku.

Kami baru mulai mendaki lagi beberapa puluh meter ketika bang Atta berteriak, “Cempedaaak!” ku lihat bang Atta seperti terbang keluar dari jalur pendakian. Masih dengan tas membumbung tinggi di punggungnya, dia menyusup di antara pepohonan mencari buah cempedak yang masih utuh diantara sisa-sisa buah yang berserak di atas tanah. Mungkin yang sisa-sisa itu abis dimakan beruk, Macaca nemestrina, atau kera ekor babi.

Bang Atta dan Mas Agung menikmati buah Cempedak

Bang Atta dan Mas Agung menikmati buah Cempedak

Buah Cempedak merupakan kerabat buah Nangka. Tekstur kulitnya sama, namun buahnya lebih kecil dan lonjong. Baunya lebih menyengat dari buah nangka, ditambah rasa buahnya yang manis legit. Buah Cempedak pertama yang aku makan di Camp Granit, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, rasanya sungguh manis dan lengket. Karena itulah aku tidak terlalu suka buahnya yang lengket di tangan dan di lidah terasa sangat manis. Ketika ditawari cempedak oleh teman-teman, aku ragu beberapa saat, khawatir rasanya yang terlalu manis. Tapi kemudian aku mengambil 1 biji dari mas Agung dan 1 biji lainnya dari bang Fendy. Ternyata rasanya sama seperti yang aku makan pertama kali. “terlalu manis dan lengket. aku udah ah” ucapku menolak tawaran cempedak lagi dari mas Agung.

Tapi buah manis seperti Cempedak adalah cemilan yang sangat bagus bagi kami yang berkegiatan di hutan belantara dan menjalani pendakian. Di pendakian kita memang butuh mengkonsumsi makanan yang manis atau mengandung glukosa,. karena glukosa bisa cepat diolah untuk menjadi energi, yang kita butuhkan. Terlebih buah cempedak ini asli dari hutan, yang gizinya pasti sangat baik bagi tubuh.

Mendekati puncak bukit, nafasku terasa semakin berat. Betis pun sudah mulai teriak minta berhenti. Aku mendaki dengan pelan. Bang Fendy yang berada di belakangku terus menyemangati, “ayo, tinggal 100 meter lagi”. Aku pun sedikit bergegas, mempercepat langkah. Ketika tiba di puncatk bukit, jam di tangan menunjukkan jam 12 siang lebih beberapa menit. Di puncak bukit ini lah kami beristirahat dan makan siang. Puncak bukit ini jugalah yang menandai akhir pendakian mencret.

Bang Atta menuruni sisi lain dari pendakian dan beberapa saat kemudian kembali dengan sebuah cempedak di tangannya. Mas Agung yang langsung mencicipi berkata, “enak nih, ga terlalu manis”. Mendengar itu aku pun mulai mengambil satu biji dan memasukkannya ke dalam mulutku dan hmm.. memang lebih nikmat, manisnya pas. Selanjutnya sudah tak terhitung berapa banyak yang aku makan. Cempedak hutan memang ueeenaaak! hehe.

Setelah makan siang kami berempat; aku, bang Amri, mas Agung, bang Fendy mengambil kamera yang berjarak kurang lebih 700 meter dari tempat kami beristirahat. bang Atta tinggal menjaga tas kami. Sayang pada kamera yang kami ambil ini, tidak ada satu pun gambar harimau, sang datuk yang terekam kamera. Kemanakah dia berjalan? yang ada di kamera adalah babi jenggot, Sus barbatus dan macan dahan, Neofelis diardi.

Di tengah perjalanan pulang kami ditemani oleh suara ungko, Hylobates agilis. Suaranya terdengar jelas sehingga kami memperkirakan sang Ungko berada tidak jauh dari tempat kami berjalan. Namun sosok sang akrobat hutan tropis tidak terlihat. Biasanya suara ungko terdengar seperti nyanyian., yang dumulai pada pagi hari sekitar jam 6. Namun siang ini sang ungko bersenandung dan terdengar dua nada yang berbeda. Kemungkinan ada kelompok ungko yang saling berkomunikasi.

Kembali ke tempat istirahat, ternyata bang Atta sudah memanen satu lagi buah cempedak untuk kami makan di camp nanti.

Perjalanan menuju camp melalui turunan tajam. aku perkirakan kemirigannya mencapai 60-70%.., bahkan mungkin 80% karena rasanya aku berjalan pada dinding tegak lurus ke bawah. Ini lah turunan yang diceritakan oleh bang Fendy sebelumnya, bahwa karena turunan yang sangat tajam, kedua lututnya serasa mau lari duluan..hehe. Tempat data hanya ada 3, itu pun hanya beberapa meter, selebihnya kembali turunan tajam.

Beban di punggungku yang sebagian besar adalah barang-barang pribadi terasa lebih berat dibanding saat mendaki tadi. Bayangkan teman-teman yang membawa semua kebutuhan kami ber-5 dan ini baru hari kedua, beban belum banyak berkurang karena logistik yang kami makan. Bang Amri sampai terjatuh 2x, sehingga oleg teman-teman dibecandain layaknya mereka seolah-olah sedang berburu Napu, Tragulus napu. “Mana bang, lari kemana napunya? itu lah abang ini mencari napu surang-surang” goda bang Fendy.

Aku tidak bisa mengerti bagaimana caranya mereka masih bisa bercanda di kondisi penurunan seperti ini dan beban di punggung dan keringat yang membanjir. Sementara aku terus berkonsentrasi supaya tidak tersandung atau jatuh terjerembab.

Di akhir penurunan yang rasanya tak berkesudahan itu, lututku masih gemetaran, namun ada yang menghibur, suara air, berarti sudah dekat dengan camp.., cihuuuuyy!

Sungai di Rimbang Baling

Sungai di Rimbang Baling

Kami baru tiba di sungai besar ketika dua orang laki-laki datang tepat di belakang kami. Biasanya ketika aku ikut tim ke lapangan, sangat jarang ketemu orang lain. Kalaupun bertemu pasti dengan orang Rimba atau orang Kubu. Makanya bagiku terasa aneh ketika kami camp dan disebrang sungai ada camp lain milik kedua orang tersebut.

Sebelum maghrib tiba, lebih banyak orang lagi datang bergabung di camp seberang. Salah satu bapak dari rombongan itu datang ke camp kami dan bercerita bahwa rombongan yang dia bawa bukan untuk mencari gaharu, melainkan untuk menandai kawasan yang akan dibuka seluas 5000 hektar untuk karet masyarakat Desa Kunto.

Ah Rimbang Baling, meski bukitmu terjal, pepohanmu besar dan gagah, namun tetap saja ada orang yang ingin mengubah wajahmu. kawasan hutan Rimbang Baling adalah kawasan lindung, ditetapkan oleh pemerintah sebagai Suaka Margasatwa sejak tahun 1986. Namun sayang karena pengawasan kawasan yang kurang dari pihak BBKSDA Riau, masyarakat pun leluasa untuk masuk dan beraktivitas yang mengganggu satwa dan mungkin kestabilan ekosistem.

Belum hilang rasa sedihku mendengar sebagian kawasan hutan ini akan dibuka, salah seorang dari rombongan itu telah menembak seekor napu untuk makan malam mereka. Baru kali itu lah aku melihat napu secara langsung, sebelumnya hanya melalui gambar yang diperoleh oleh camera trap kami. Dalam remang cahaya api, aku melihat badannya yang terkulai tanpa nyawa. Bulu di bagian perutnya berwarna abu-abu. Badannya kira-kira sedikit lebih besar dari kucingku di rumah. Hmm.. datuk belang, rumahmu akan sgera dibuka, makananmu pun diambili oleh manusia.. ya, manusia memang makhluk yang paling rakus di bumi.

Rimbang Baling #2: shooting Jejak Petualang Trans7

Apa yang tidak diharapkan ternyata menjadi kenyataan.  Setelah semua orang selesai makan malam, mendengarkan sesi pengarahan dan pengambilan gambar malam hari dengan tim Jejak Petualang Trans7, suara guntur mulai terdengar dan sesaat setelah semua orang masuk ke tenda yang telah disiapkan, hujan pun mulai mengguyur bumi. Karena semua tenda dipasang dalam keadaan darurat mengingat luas camp yang juga terbatas, maka semua pun menjadi waspada akan kemungkinan terjadinya banjir. Bang Fendi dan beberapa orang yang tidur di bagian tengah tenda beberapa kali harus terbangun dan menyingkir ke bagian pinggir karena alas tenda bagian tengah basah. Sementara aku? Oohhh ini yang dinamakan posisi menentukan prestasi: bagianku yang terletak di bagian paling ujung dari tenda cukup aman dari genangan air dan aku pun tidur dengan sukses.

Rasanya sudah pagi sih sewaktu aku terbangun, namun suara air di luar membujukku untuk kembali tidur. Nah, sewaktu terbangun kembali, aku yakin hari telah menjelang siang. Dari sela-sela tenda aku mengintip ke luar dan kulihat sudah banyak orang yang berada di luar tenda. Berarti hujan sudah berhenti ya? Tapi kok suara air masih kenceng gitu? Aaahhh pemirsa rupaya suara air yang aku kira hujan ternyata air sungai! Kenceng karena volume air lebih banyak, arusnya pun menjadi lebih deras. Karena sungainya berbatu besar maka libasan airpun terdengar kencang.

Asiknya berada dalam satu tim besar adalah seringnya hal-hal yang musti kamu ikut mengerjakan, ternyata sudah dikerjakan oleh orang lain. Contohnya ini, aku begitu bangun sarapan telah tersedia.., aahh nikmatnya hidup, heheh.

shooting JP

 

Hari ini aku latihan rute Rimbang Baling sembari menemani timku yang sedang diliput menjadi bagian acara Jejak Petualang – Trans7. Hari sebelumnya yang menjadi artis adalah tim Tiger Patrol Unit (TPU), hari ini giliran timku, Tiger Research Team atau singkatan kerennya Ftt, yang menjadi artis. Timku yang lelaki semua senang banget ini, setelah selama ini harus terjebak bersama aku, akhirnya mereka berkesempatan satu tim dengan seorang perempuan cantik+penyuka binatang+ramah lingkungan bernama Adita Nanda.  Mba Adita ini adalah presenter acara Jejak Petualang dengan edisi Konservasi Harimau dan Gajah Sumatera.

shooting JP

Tampaknya timku ini punya bakat alami menjadi artis, buktinya proses pengambilan berjalan lancar. Tidak ada yang terlihat demam kamera meski bersebelahan dengan seorang perempuan cantik nan tangguh. Dan juga karena ini sifatnya dokumenter jadi tim tidak perlu pakai script segala, hanya diberi pengarahan bentar oleh penanggung jawab acara dan kameraman, trus jalan deh prosesnya.

shooting JP

Bersyukur juga ada acara seperti Jejak Petualang karena dengan liputannya mengenai Harimau dan Gajah Sumatera, turut membantu menyampaikan kepada publik kondisi terkini satwa liar Indonesia yang juga adalah bagian dari kekayaan negeri khatulistiwa ini.

Sembari mengabadikan momen-momen shooting Jejak Petualang, aku menikmati ujicoba ku naik-turun bukit batu dinding. Kata bang Samsu, anggota TPU, saat mereka membawa Barney Long, Technical Adviser dari WWF-US, mereka juga mengikuti jalur bukit batu dinding ini.

Setelah kegiatan shooting selesai, kami pun segera berkemas bersiap pulang: memasukkan kembali semua peralatan tenda dan masak, membersihkan areal camp dari sampah. Yang pulang ke Pekanbaru sih tim dari Jejak Petualang serta mba Randu Rini dari bagian Comms Jakarta, sedangkan kami yang tim riset akan melanjutkan perjalanan di Rimbang Baling.

Menyusuri sungai

Untuk kembali ke Desa Gema, kami harus melewati rute yang sama saat menuju ke sini hari sebelumnya. Perjalanan pulang lebih menantang ketimbang masuknya karena air sungai telah meluap dan arusnya yang deras sehingga menyebrang pun menimbulkan perasaan ngeri-ngeri sedap, istilah tim untuk menggambarkan kondisi yang perlu sedikit keberanian.

Malamya kami menginap di tempat bang Samsu, anggota TPU, untuk beristirahat sejenak sembari mengeringkan tenda dan terpal yang basah dan berlumpur.